Sabtu, 26 Desember 2015

Menuju Wae Rebo




INTRO

Lagi lagi forum backpacker indonesia menyatukan kami. Yaa walaupun sejujurnya style trip nya  gak backpacker2 amat hehe. Berawal dari rencana saya, iin dan wira (teman ngetrip yang lebih dahulu saya kenal di bpi waktu ke rinjani) untuk share cost ke Flores. Kami bertiga bagi tugas saya bagian planing & survey (halah), iin sebagai humas yang rempong telpon sana-sini (terimakasih udah mo nyumbang pulsa :D) merangkap bendahara dan wira sebagai sales & marketing (secara doi entrepeneur.. mulutnya manis dan ahli mencari 'mangsa'). Setelah rencana cukup matang, wira ngepost thread di bpi dengan kuota sebanyak 8 orang. Awalnya sempat pesimis karena postingan di launch sebulan sebelum rencana trip, tapi ternyata prediksi kami salah! peminat nya banyak sampai beberapa kami reject karena sudah over kuota, dan close dikuota sebanyak 10 orang.

Iin lalu membuat grup Whatsapp dan kami matangkan bersama rencana tripnya termasuk perubahan tanggal berangkat, transportasi yang dipakai dan lain sebagianya.. 10 orang ajaib dan asik-asik ini adalah Wira (Semarang), Iin (Jakarta), Cayi (Kupang), Ruben (Palembang), Vici (Jakarta), Kade (Bali), Abu (Kudus), Farid (Tegal), Budi (Bogor) dan Saya (Balikpapan)

Trip kami murni share cost alias patungan dibagi rata, gak ada yang bayar kurang atau lebih semua sama, budget yang kami habiskan sekitar 2.700K per orang untuk 7 hari perjalanan (wae rebo 3 hari & lob 4 hari) ini diluar jajan, belanja dan transport PP ke Labuan Bajo ya

Itinerary kami
Day 1 : Bandara - Denge
Day 2 : Denge - Wae Rebo (treking)
Day 3 : Wae Rebo - Denge - Labuan Bajo
Day 4 - 7 : Live On Board Komodo
Day  : Pulang



DAY 1


Bandara Komodo - Denge (desa terakhir sebelum treking Wae Rebo)

Kami berkumpul di bandara Komodo, setelah komplit 9 orang kami meluncur menuju menggunakan Elf yang sudah kita sewa beberapa minggu sebelumnya. Kenapa Elf? biar lebih efektif aja waktunya (gak backpaker banget ya. lol) Butuh waktu 6-7 jam untuk menuju Denge. untuk transportasi selain sewa mobil ada travel dari labuan bajo ke Ruteng, Ruteng - Denge naik oto kayu. Tapi jam nya gak fleksibel, terutama oto kayu Ruteng - Denge yang hanya berangkat 1 kali sehari

gegoleran di bandara Komodo yang super sepi




Bandara baru Komodo yang berkonsep modern


Jalan ke Denge ini cukup bikin pusing, dari jalan raya, naik turun bukit yang berkelok-kelok kayak ular, lewatin hutan kering, lalu lewat sawah hijau (gak nyangka ada daerah sehijau ini di tengah tanah kering), lewatin pantai, hutan lagi, sawah lagi, pokoknya masih alami banget.

Awalnya kami berencana menginap di teman Abu sesama program SM3T yang tugas di Todo  (apa itu sm3t ? kata abu & farid peserta trip paling muda, itu lo program guru dari dinas pendidikan, singkatan dari Sarjana Makan Tahu Tempe Telor, eh bukan Sarjana Mendidikdi daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal semacam PTT kalau di kesehatan), tapi karena miskomunikasi dengan supir elf nya, akhirnya batal dan kami langsung menuju Denge.

Di denge kami menginap di homestay Pak Blasius, satu-satunya penginapan terdekat menuju Wae Rebo. Pak Blasius merupakan anak asli keturunan wae rebo, profesi beliau dan istri adalah guru di SD Denge.
Tarif menginap disana 200K per orang per malam, sudah termasuk makan selama di sana. 1 kamar bisa di isi 2-3 orang. 


Di Denge sudah susah sinyal komunikasi, telkomsel sekali pun. Listrik juga hanya menyala pukul 6 malam – 11 malam sumbernya genset, diatas jam itu, no electricity kecuali lampu. Jadi siapkan powerbank masing-masing. 


Setelah bersih bersih dengan air super dingiin kami disuguhkan makan malam dengan menu nasi, mi goreng dan telur dadar lipet. Kegiatan kami malam itu ngobrol-ngobrol sambil nonton tv yang siaran nya udah lengkap sambil dengerin cerita ibu2 turis korea yang bingung karena harus balik ke Ruteng besok tapi oto kayu gak ada yang berangkat karena udah di sewa utk acara nikahan.


menuju Denge



otw to Denge .. Pulau Mules di tengah laut


Homestay Pak Blasius
paling kiri - Oto Kayu
paling kanan - Elf yang kita sewa

Paginya kami siap-siap naik ke Wae Rebo, barang-barang yang gak dipakai kami titipkan di rumah pak Blasius. Dan setelah sarapan dengan nasi goreng dan telor dadar lipet (yang kedua kalinya), kami berangkat ditemani pak guide. Air minum kemasan (Ruteng) bisa di beli disini.


Normalnya butuh waktu 3-4 jam trekking sampai ke desa, dan ada 3 pos yang kami lalui.
Jalur menuju Pos 1 adalah jalan terbuka, tak ada pohon bernanung sepanjang jalan.  Tampak jalur sudah diperlebar dan diperbaiki, sepertinya tahun depan kendaraan roda empat sudah bisa shortcut sampai sini. Di jalan kami bertemu dengan pak Alex, yang ternyata adalah salah satu ketua adat, usianya udah kepala 6 dan berpostur kurus tapi jalannya lebih cepet dari kami. Kami juga berpapasan dengan bapak yang sanggup 3x bolak balik desa – Pos 1 dalam sehari demi mengangkut 1 sak semen untuk pembangunan puskesmas pembantu di Wae Rebo.  Berita bagus karena berarti pemerintah sudah mulai perhatian dengan isu kesehatan di kampung ini, dengan dibangunnya Puskesmas Pembantu, semoga bisa meningkatkan derajat sehat penduduknya. Karena sebelumnya mereka sulit sekali untuk menuju puskesmas, seperti ibu hamil yang wajib control kandungan tiap bulan harus jalan naik turun bukit.



Jalan menuju Pos 1 yang diperbaiki


aliran sungai sebelum pos 1




air mineral lokal yang setia menemani


Dari Pos 1 menuju Pos 2, jalur sudah masuk hutan, treknya tetep nanjak tanpa bonus.. di pos 2 ada sinyal spot, kadang bisa ngirim sms atau telpon.. Lalu menuju pos 3 jalan sudah relatif datar dan menurun. Di Pos 3 nanti pak guide memukul kentongan sebanyak 3x, tanda ada tamu yang datang dan kepala adat akan bersiap untuk menyambut kami. O iya, jangan sekali-sekali ngambil gambar di area wae rebo sebelum disambut resmi sama kepala adat.


sinyal spot di Pos 2


deket lagi Pos 3


Pos 3




Sampai di Desa Wae Rebo ternyata bukan cuma 7 rumah kerucut saja yang ada disana, di area lain ada juga rumah kayu sederhana berdiri dan masuk teritori kampung Wae Rebo. Hanya saja 7 buah rumah adat ini d pertahankan.


Kami dibawa masuk ke rumah utama yang punya lambang berbeda dan paling besar diantara 7 rumah lainnya. Kami bertemu lagi dengan Pak Alex, lalu kami di sambut dengan ritual doa selamat dengan adat dan bahasa Wae rebo, intinya jika kita sudah di sini, maka kita bukanlah orang jawa, orang Jakarta atau orang dari manapun, tapi kita adalah Wae Rebo, sudah dianggap sebagai warga, anak dan keluarga Wae Rebo. Beliau juga memohonkan keselamatan kami kepada leluhur Wae Rebo.   Nah setelah upacara ini, barulah kita bisa bebas kegiatan di kampung ini, asal tidak melanggar aturan-aturan desa.
Wae rebo ini rupanya nenek moyang nya orang Minang, sudah ada 20 generasi yang hidup di sini. Agama yang dianut adalah Kristen. Tradisi waerebo juga masih sangat kental seperti alur pernikahan dengan garis turunan yang sudah diatur sampai hukum adat yang berlaku jika ada warga yang melanggar semua masih digunakan. Bagusnya, desa ini gak tertutup dengan kemajuan pendidikan dan teknologi. Semua anak-anaknya bersekolah bahkan ada yang sampai kuliah. Sekolahnya tentu saja harus di desa lain, ada desa yang saya lupa namanya, disana anak-anak mereka disekolahkan dan tinggal. Hanya hari sabtu dan libur saja mereka pulang ke wae rebo.


Kegiatan penduduknya adalah bertani, yang lagi happening sekarang tanam kopi juga menenun.
7 rumah mbaru ngiang, jumlah nya disesuaikan dengan tradisi leluhur. Filosifinya wae rebo memiliki 7 kekuatan, jumlah inilah yang kemudian di simbolkan dengan jumlah rumah adat.
Masih banyak lagi tradisi dan kisah desa ini, wajib kesana deh kalau mau ngorek-ngorek semuanya hehe.
.

Nah setelah disambut sama pak kepala adat kami digiring ke rumah tamu untuk istirahat. Di sana kami disambut lagi sama Kasih.. pemuda wae rebo yang tugasnya nyambut kami-kami ini. Udah di suguhin kopi wae rebo juga sama ibu-ibu. Di sini kita bisa memutuskan mau menginap atau tidak.
ini di jual lo.. kopi tradisional wae rebo 40k-200k, tenun 15--300k, kaos, tas ada.. markisa 10k, madu lebah tanah 150k, dan lain lain


(c) Abu


Lunch time (c) Abu


Ngapain aja di Wae Rebo ?
Bisa ngobrol sama ibu-ibu atau bapak-bapaknya
Nemenin atau bantuin warga ngolah kopi, ngeliat proses tenun tradisional
Main sama anak-anak wae rebo
Atau bisa juga jalan ke air terjun

menenun tradisional


anak wae rebo


terlalu excited sama stiker sampe di tempel dimana-mana. lol


Sore kami habiskan bermain bersama anak-anak yang gak habis baterainya, juga ‘sangat antusias’ dengan apapun yang kami bawa baik itu permen, buku, balon, stiker, krayon..
Part 1  wira, vici dan bang ruben punya cara yang bagus untuk memberi permennya dengan metode award. Siapa yang paling sering nemu sampah dan masukin ke tong sampah, dia yang dapat permennya. Metode ini berhasil ! semua semangat dan senang. Sayangnya, Cuma bawa permen sebungkus jadinya gak banyak yang dibagi.


wira si bapak muda-  favorit anak-anak karena suka gendong


have fun together panas panas

Part 2, giliran iin dan saya yang beraksi pake buku cergam mewarnai dan balon (sarung tangan). Excite banget mereka, sampe rebutan. Rencana awal saya sama cayi mau periksain gigi mereka tapi urung karena mereka sangat hiperaktif wkwkw. Mereka selalu bertanya bu mana permen? Bu mana buku? Dan ada yang berucap bu ada uang? Hmm kalau uang kami tak bisa beri.. mungkin dulu ada tamu yang pernah ngasih uang ke anak-anaknya.. Tapi cara ini tidak baik, jadi tolong bagi temen-temen yang mau berkunjung lebih baik kita ngasih mainan edukasi atau memberi dengan system award agar mental tidak terbentuk mental meminta.

sesi mewarnai - ricuh






kaka vici memantau

Kami juga makan siang dengan menu lauk berupa telor dadar lipet part 3.. (*sudah mulai sadar kena terror telor dadar lipet) kami maklum juga karena kedatangan tamu pasti tidak terprediksi dan telur merupakan lauk yang gak ribet storage nya.. secara di sana susah listrik.



Malamnya setelah makan malam dengan menu spesial ayam kari (bukan telor dadar :D), kami ditawari untuk menonton MBATA, hiburan menyanyi dengan menggunakan alat musik tabuh. Dengan tariff per rombongan sebesar 250ribu. Sempat kami tawar juga jadi perorang 30ribu. Ada tiga buah nyanyan yang dibawakan, dan akan diartikan setelah dibawakan. Disini juga ada sesi Tanya jawab apapun baik yang berkaitan dengan lagu atau tentang adat wae rebo.



Mbata
tempat tidur kami

Esok paginya kami bangun subuh, sambil menunggu matahari muncul dan tentunya foto-foto di halaman.
Sarapan lagi pake telor dadar lipet part 4, ditawarin kopi atau teh. Lalu jam 7 pagi kami harus pergi agar tidak kesiangan sampai Denge. Pamitan sama ibu-ibu yang udah mau repot dan masakin kami. jam setengah 12 kami sampai di rumah Pak Blasius, kemudian mandi, beres-beres.. di kasih makan siang lagi pakai sayur, mi dan telor dadar lipet part 5 (Fix kent*t makin mambu) lalu kami berangkat ke Labuan Bajo untuk memulai sailing trip esok harinya. Bersambung ke postingan selanjutnya yaa




full team with pak Floris guide kami


Selasa, 08 Desember 2015

Santai di Gili Trawangan

Setelah tanah tertinggi di Lombok kami lanjutkan perjalanan ke titik nol di sebelah barat Lombok. Kami akan mengunjungi Gili Trawangan. Gili atau dalam bahasa Indonesia berarti pulau. Sebenarnya tak hanya Gili Trawangan yang dimiliki Lombok masih ada Gili Kondo, Gili Nanggu, Gili Air, Gili Meno dan lain lain, namun yang paling terkenal adalah 3 gili yang letaknya berdekatan yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan.


Untuk menuju Gili Trawangan dari Mataram kami harus bertolak ke pelabuhan Bangsal, sekitar 30 menitan pakai kendaraan. Kami memilih pakai taksi biar lebih efisien karena kami bertiga. Sampai di area dermaga ternyata kami harus turun di halte depan yang jaraknya masih sekitar 1 km jalan kaki ke dermaga. Mengapa demikian? Katanya sih biar adil bagi penumpang antara taksi dan cidomo (sebutan delman di Lombok). Nah terserah kalian lagi nanti mau ke dermaga nya lanjut jalan kaki atau naik cidomo. Kami bertiga memilih naik cidomo, selain bisa lebih hemat, cepat, membangun ekonomi penduduk juga gak capek (kayaknya alasan terakhir yang paling utama :p). Harga masih affordable kok 25 ribu dibagi 3 orang.
Di dermaga kami harus beli tiket dulu di loket. Ada 2 pilihan kapal, yaitu kapal biasa dan kapal cepat. Kami memilih kapal biasa saja karena nyebrang pun tak butuh waktu lama hanya 45 menit jika ombak normal. Kapal biasa berangkat tiap 1-2 jam sekali tergantung penumpangnya, kalau penuh kapal akan segera diberangkatkan.


Gili Trawangan yang disebut sebagai “Never Never Land”  dalam Lonely Planet ini benar-benar tempat yang tepat untuk santai dan malas-malasan. Suasana liburan sudah sangat terasa ketika menginjakkan kaki di pulau ini. Pasir putih, air laut yang tergradasi biru, alunan musik yang terdengar riuh rendah, susunan bean bag dari kafe-kafe yang tersebar di pinggiran pantai dan bule-bule yang berseliweran. Sepertinya wisatawan lokal kalah jumlah dengan wisatawan mancanegara, bagaikan turis asing di negri sendiri.
Sampai di Gili hal yang pertama kami lakukan adalah mencari penginapan. Tak perlu khawatir mencari penginapan di pulau ini, berbagai kelas penginapan ada. Mulai dari kelas backpacker samapai resort bintang lima lengkap !


Kebetulan kami sama sekali belum memesan penginapan di Gili Trawangan, karena kami datang saat weekday masih besar kemungkinan untuk dapat kamar on the spot.  Di pinggir pantai kami dapat tawaran penginapan dari guide yang kami temui di jalan. Hanya dengan tarif 75 ribu per orang per malam, dengan fasilitas kamar mandi dalam dan kipas angin, penginapan namanya. 10 menit berjalan kaki dari ‘dermaga’, dekat dengan Pasar Seni Malam dan sebelahan dengan mini mart, jadi cukup mudah di akses lah. Sampai di penginapan kami langsung ditawari paket Snorkling, 100ribu di 3 spot snorkle include makan siang (bebas pilih menu) dan alat snorkeling. Kami menghabiskan waktu 3 hari 2 malam di Gili Trawangan.
Hari pertama kami habiskan untuk snorkeling dari jam 11 – 16 sore. Lanjut sunsetan.. hunting kuliner.. bobo cantik.. Hari kedua kami lanjutin santai-santai di Gili sambil keliling sepedaan, hunting sunset, kulineran, begituu teruss sampai bosan dan mati gaya.. Hari ketiga paginya kami kembali pulang. FYI, kapal terakhir berangkat dari Gili Trawangan ke Bangsal paling pagi jam 7 dan terakhir jam 4 sore. Tidak ada kapal yang berangkat malam karena ombak yang cukup besar di malam hari


Kegiatan yang bisa dilakukan selama di Gili Trawangan :
1.       Dive
Di gili Trawangan cukup banyak club dive, kalau belum bisa dive bisa ambil short-course dan latihan dive dulu di kolam mini sebelum masuk ke laut
2.       Snorkeling
Gak bisa dive? Kita masih bisa snorkeling. Kalau malas snorkeling juga, bisa naik perahu yang di bagian bawahnya ada lapisan kaca “glass bottom” jadi bisa lihat ikan dan karang dari dasar perahu. Tarif paket snorkeling yang ditawarkan rata-rata sama, yang membedakan nanti adalah fasilitasnya. Termurah kami dapat harga 100ribu sudah bisa snorkeling di tiga spot termasuk sewa alat snorkel dan makan siang di Gili Air. Kalau menurut saya sewaktu snorkeling, terumbu karang disini tak secantik di Karimun Jawa, sudah banyak yang rusak dan ikan-ikannya juga tak begitu ramai. Atau kita yang kurang go deep juga kali yaa jadi pemandagan bawah lautnya gak dapat yang spektakuler
3.       Sewa buku
Kalau lagi malas berenang tapi gak bisa sunbath ala bule-bule karena kulit sudah terlampau eksotik. Nah bisa juga duduk-duduk santai sambil sewa buku yang ada di perpustakaan mini
4.       Bersepeda keliling gili
Ini kegiatan yang wajib dilakukan kalau ke Gili Trawangan. Keliling pulau pakai sepeda, cukup sewa sehari 35 ribu-50ribu sepuasnya bisa dipake keliling dari sunrise sampai sunrise lagi (kalau gak butuh tidur sih). Recommend pas menjelang sore sambil berburu sunset, karena sebelah barat pulau ini cukup jauh dari pusat keramaian pulau yang ada di sisi selatan. Hanya 7 km  saja muterin pulau ini, sambil keliling kita bisa merasakan perbedaan suasananya, sebelah selatan yang paling ramai karena memang ini tempat keluar masuk kapal menuju Lombok, kuliner, cafĂ© dan kios kios paling ramai di sisi ini ,semakin ke timur semakin sepi, lalu menuju sisi utara yang lebih tenang dan didominasi dengan bangunan resort dan hotel papan atas. Menuju sisi barat  ada fasilitas semacam tempat duduk untuk liat sunset, bagi yang mau foto-foto pakai ayunan yang hits itu ada juga disini. Sepanjang sisi barat ke selatan didominasi deretan restoran sampai di ujungnya ketemu pasar seni malam yang menyediakan sajian kaki lima
5.       Berburu sunrise dan sunset
Karena pulau ini kecil, kita bisa dengan mudahnya menikmati sunrise dan sunset di pantai. Kalau pagi tinggal geser ke sebelah timur maka kita akan melihat matahari terbit dengan bayangan gunung rinjani. Ketika senja tiba tinggal lari lagi ke sebelah barat maka kita akan bisa melihat matahari terbenam dengan siluet gunung agung disekitarnya. Suasana menjelang matahari terbenam biasanya ramai, orang-orang kebanyakan berkumpul di spot ombak sunset, alunan musik regae dan tabuhan gendang dari para beach boy akan menemani kita sampai gelap. Sungguh suasana yang membuat kita lupa sejenak kepenatan dunia nyata, menurut saya inilah realisasi dari kalimat “santai kayak di pantai, slow kayak di pulau”
6.       Kuliner Gili
Perihal makanan tak perlu khawatir. Berbagai macam aliran kuliner cukup lengkap di Gili Trawangan, mulai dari restoran berkelas sampai hidangan kaki lima yang menyajikan sajian Indonesia, asia sampai western food ada di sini. Jika bosan dengan makanan restoran, kita bisa memilih makan di kedai kaki lima di pusat pasar seni malam yang kebanyakan menawarkan hidangan laut yang disajikan ala bbq. Boleh juga menikmati gelato ala gili yang tersebar di mini both sepanjang jalan gili



Fakta Gili Trawangan
1.       Menurut cerita abang tukang jagun bakar keliling yang kita ajak ngobrol sambil makan dagangannya. Gili Trawangan ini dulu sekali merupakan pulau pengasingan orang-orang yang melakukan perbuatan buruk di Lombok agar kemudian menyadari kesalahannya dan bisa menjadi pribadi yang lebih mandiri dan lebih baik lagi, dan terbukti gili trawangan kini semakin menggeliat, tingkat kriminalitasnya juga sangat minim karena tradisinya jika ada yang ketahuan mencuri maka akan diarak keliling pulau tanpa busana dan dideportasi dari gili tak boleh kembali lagi
2.       Tidak boleh ada kendaraan bermotor lalu lalang di Gili Trawangan. Kendaraan yang boleh digunakan hanya sepeda dan cidomo, jadi dapat dipastikan pulau ini bebas kebisingan kendaraan bermotor.
3.       Belanja
Layaknya di Legian Bali, jalan utama Gili Trawangan juga banyak berjejer toko mungil dan artistic yang menjual kebutuhan renang dan pernak pernik khas Lombok. Untuk kebutuhan cemilan, toiletries, dan lain-lain banyak mini mart di sini jadi tak usah khawatir
4.       Penginapan
Jangan bayangkan gili trawangan ini seperti pulau kecil yang masih sepi. Berbagai kelas penginapan ada di sini, mulai dari kelas backpacker dengan harga 100ribu per malam sampai resort dan hotel bintang 5 sekelas aston dan novotel ada.
5.       ATM. Mesin atm yang tersedia disini mulai dari BRI, Mandiri, BCA dan BNI ada. Paling dominan bank mandiri, tak ada bank yang beroperasi di sini.
6.       Fasilitas ibadah. Bagi yang muslim, mesjid di gili trawangan cukup besar, tiap akan sholat pasti ada pengingat murotal qur’an sebelum adzan. Mayoritas penduduknya beragama islam.